Sabtu Malam Keluarga Abdullah

Dua piring pisang goreng lengkap dengan empat gelas teh hangat membuat meja kecil bundar di  ruang keluarga itu tampak begitu penuh. Hari ini adalah hari Sabtu, seperti biasa, setiap Sabtu malam tradisi keluarga Abdullah adalah menghabiskan waktu bersama di ruang keluarga minimalis dengan cat dinding berwarna coklat muda yang hangat,bercerita dan berkeluh-kesah tentang apa saja.

“Bagaimana sekolah anak-anak Bunda hari ini?” Perempuan paruh baya itu memulai percakapan. “Sekolah Alif baik-baik saja kok Bunda. Alhamdulillah Alif bisa menjawab soal ujian Matematika dengan lancar.” Jawab Alif dengan mulut yang masih penuh dengan pisang goreng kesukaannya. Alif adalah anak kedua dari pasangan pak Abdullah dan ibu Aisyah. Saat ini Alif masih duduk di bangku Sekolah Dasar. “Bagaimana dengan Aini?” tanya pak Abdullah memecahkan lamunan putri sulungnya. “Kuliah Aini juga baik kok Yah, Bund. Aini masih aktif di organisasi dan tetap mengutamakan kuliah.” Jawab Aini sambil tersenyum. Menyadari bahwa putri sulungnya sedang tidak baik-baik saja, ibu Aisyah kemudian kembali bertanya “Dek Alif dan Teh Aini tahu tidak kenapa Ayah dan Bunda selalu mengajak Adek dan Teteh untuk menyempatkan waktu berkumpul di akhir pekan seperti ini?” Aini yang tsedari tadi menundukkan kepala, kemudian menghadap ke arah bundanya yang bertanya. "Memangnya kenapa Bunda?" Tanya ALif yang sudah menghabiskan hampir separuh dari pisang goreng yang ada di piring. Ibu Aisyah kemudian tersenyum sambil meneguk teh hangat sebelum melanjutkan kalimatnya. “Sebab, Bunda dan Ayah ingin Alif dan Aini terbuka sama Ayah dan Bunda. Mau bercerita tentang apa saja, mau berbagi masalah apa saja, mempercayakan semua cerita kalian pada Ayah dan Bunda. Menjadikan Ayah dan Bunda sebagai sahabat terbaik kalian. Ayah dan Bunda tidak mau apanila anak-anak Ayah dan Bunda menyimpan masalahnya sendiri.” Kata ibu Aisyah di akhiri dengan senyuman yang begitu hangat.

Menyadari bahwa dirinya sudah tidak bisa menyembunyikan apa-apa pada orang-orang dalam ruangan tersebut, Aini kemudian berkata “Menurut Ayah dan Bunda, bagaimana caranya untuk bisa menjadi laki-laki dan perempuan yang baik?” ibu Aisyah tersenyum sembari melirik ke arah pak Abdullah yang tengah menikmati teh hangatnya. “Menurut Ayah, untuk menjadi laki-laki dan perempuan yang baik, Alif dan Aini harus sampai dahulu pada tahap pemahaman yang baik. Adek dan Teteh akan sulit untuk menjadi ‘baik’ apabila pemahannya masih kurang.” Jawaban tersebut membuat kening Aini berkerut. Melihat ekspresi putrinya yang kebingungan, bu Aisyah kemudian melanjutkan “Tahap pemahaman yang baik itu maksudnya Aini harus mengetahui dengan baik apa saja tugas seorang perempuan, dan Alif juga sama, harus mengetahui apa saja tugas seorang laki-laki. Perempuan yang belum menikah, tentu akan dikatakan baik apabila ia berbakti pada Allah dan kedua orang tuanya. Bertanggung jawab terhdap tugasnya sebagai seorang anak perempuan. Sedangkan, perempuan yang sudah menikah, dapat dikatakan perempuan yang baik apabila ia berbakti pada suaminya. Ia menjalankan tugas-tugasnya sebagai seorang istri dengan baik. Menurut Bunda nih ya, seorang perempuan harus memiliki indikator-indikator tertentu dalam hidupnya. Termasuk indikator suka terhadap lawan jenis. Karena masalah perasaan itu adalah masalah yang paling sulit untuk dihindari seorang perempuan.” jelas bu Aisyah seolah paham terhadap apa yang putrinya rasakan.

“Sama halnya dengan laki-laki yang baik.  Seorang laki-laki juga harus mengetahui denganjelas tugas-tugasnya, baik sebagai anak maupun sebagai suami nantinya. Aini tahu kan kalau seorang laki-laki itu memiliki empat tanggungan di dunia ini? Yang pertama tanggungan terhadap ibunya, sauadara perempuannya, istrinya, dan juga anak perempuannya. Jadi, seharusnya, laki-laki jikalau mereka paham tentang empat tanggungan itu, Ayah rasa kami semua tidak akan memiliki banyak waktu untuk bermain-main. Empat tanggungan loh, padahal untuk menanggung dosa diri sendiri saja kalau mampu. Itulah kenapa, seharusnya laki-laki yang belum menikah, memprioritaskan orang tuanya, terutama ibunya. Janganlah dulu mereka menebar rasa cinta kesana-kemari, menyukai banyak perempuan, menjanjikan ini itu, membelikan ini itu. Padahal, ia sendiri belum bisa memberikan apa-apa pada ibunya, pada orang tuanya.” Jelas pak Abdullah, menyambung penjelasan istrinya.

Tanpa sadar, mata Aini sudah berkaca-kaca. Ia sangat tidak menyangka orang tuanya bisa memahaminya sedalam ini. Berbeda denga Alif, ia sudah terlelap di pangkuan Bundanya.

“Aini sedang menyukai seseorang?” Tanya pak Abdullah kembali. “Jika Aini tidak keberatan, cerita sama Ayah dan Bunda” sambungnya dengan suara yang penuh kasih sayang.

Aini mengangguk. Hanya mengangguk.

Ibu Aisyah dan pak Abdullah tersenyum melihat putri sulungnya. “Tidak apa-apa. Ayah dan Bunda tidak pernah melarang anak-anak Bunda suka sama seseorang. Bunda percaya Aini adalah perempuan yang baik itu. Bunda percaya Aini sudah tahu harus bersikap seperti apa.” Sambung bu Aisyah dan kemudian mendekap Aini dalam pelukannya.