Ayah Maryam

"Kau ingin tahu bagaimana cara menikmati ikan teri ini agar terasa seperti ayam? Seperti makanan kesukaan adik?" Tanya ayah pelan sambil mengelus-elus rambut ikal putrinya yang sedang merajuk.
"Bagaimana?" Tanya Maryam, dengan intonasi khasnya ketika sedang merajuk.
"Nanti, sebelum adik melahap ikan teri goreng ini, adik harus membayangkan rasa ayam yang paling lezat. Nanti ayah akan bantu sulap ikan teri yang sudah di dalam mulut adik menjadi ayam yang lezat itu." Jelas ayah masih mengelus-elus rambut Maryam.
Melihat putrinya yang tampak kebingungan, ayah pun kembali berkata "Baiklah. Ayah akan tunjukkan." Lalu ia mengambil satu ikan teri dan memakannya. Mengunyahnya seolah ikan teri itu terasa lezat sekali. Ah ayah, memang selalu bisa.
Satu kali percobaan, membuat Maryam penasaran bukan kepalang. Ia mengambil satu ikan teri goreng lalu memakannya dengan lahap. "Sambil membayangkan ayam lezat." Bisik ayah seolah mengucapkan mantra pada telinga Maryam.
Dalam sekejap, satu piring nasi putih dengan lauk ikan teri goreng itu dihabiskan dengan lahap oleh Maryam.

Tidak ada yang ayah tidak bisa. Begitu kata Maryam saat menceritakan tentang ayahnya.
Ayah bisa memperbaiki atap rumah kami yang bocor sendirian. Ayah juga bisa menjahitkan baju Maryam yang sobek. Ayah juga bisa memasak. Yang terpenting, ayah bisa mengubah rasa ikan teri menjadi ayam lezat kesukaan Maryam hanya dengan membayangkannya saja. Ayah ku adalah orang yang hebat. Begitu cerita Maryam pada teman-temannya.

Ayah yang tubuhnya sekuat baja. Ayah yang telapak tangannya sudah terasa begitu keras. Ayah yang tidak boleh sakit. Ayah yang tidak boleh tua. Ayah yang kuat. Ayah yang luar biasa. Ayahnya Maryam.

"Ayah, Maryam ingin sekali punya bonek-boneka cantik seperti Ira. Atau punya gaun-gaun cantik seperti Azizah." Celetuk gadis dengan poni sedikit di atas alis itu.
"Bukannya boneka-boneka adik sudah banyak? Ayah sampai bingung mau menyimpannya dimana. Terus, baju-baju adik juga sudah penuh di lemari, sudah banyak juga." Jawab ayah tersenyum. Senyumnya hangat sekali. Senyum ayah yang selalu jadi favorit Maryam.
"Tapi bonekanya tidak sebagus punya Ira, Yah. Baju-baju Maryam juga baju lama semua. Sudah sobek-sobek. Sudah lusuh." Jawab Maryam merajuk.
"Adik tahu hal apa yang di benci Allah? Saat hambanya selalu merasa kekurangan padahal ia sudah cukup. Saat hambanya tidak bisa bersyukur, selalu ingin yang lain, selalu ingin banyak koleksi, boros, padahal nanti tidak akan ia gunakan semua."
Seketika Maryam terdiam, mendengarkan ayahnya.
"Nah sama dengan Maryam. Nanti kalau baju-bajunya banyak, taunya tidak digunakan semua, buang-buang uang buat beli padahal di luar sana banyak sekali yang tidak punya baju seperti Maryam. Sama juga dengan boneka, di luar sana ada banyak yang ingin punya boneka seperti Maryam. Maryam tidak perlu melihat boneka Ira atau baju Azizah. Maryam hanya perlu melihat apa yang Maryam miliki sekarang, dengan begitu Maryam akan selalu merasa cukup." Sambung ayah.
"Berarti kita tidak perlu punya rumah mewah seperti Azam ya Yah? Cukup rumah ini saja. Yang penting nyaman dan bisa ditinggali. Iyakan Yah?" Tanya Maryam dengan mata berbinar.
"Waahh adik pintar sekali ya." Kemudian ayah membenamkan tubuh Maryam dalam pelukannya yang ringkih.

Itulah senjata ayah. Senjata yang meluluhkan. Ayah yang tenang. Ayah yang selalu bisa mengendalikan Maryam. Ayahnya Maryam.

"Yah, bagaimana wajah ibu?" Tanya Maryam di sela-sela kunyahanya saat makan siang.
"Ibu.... cantik." Jawab ayah, terlihat berpikir. Pertanyaan yang paling sulit menurut ayah. Pertanyaan yang jawabannya tidak bisa di wakilkan dengan kata-kata. Pertanyaan... yang kadang membuatnya harus membongkar semua memori yang sudah lama tertumpuk dengan cerita hari-hari bersama Maryam.
"Secantik apa Yah?" Desak Maryam.
Segala jawaban untuk pertanyaan tentang ibu sudah disiapkan semenjak Maryam lahir ke dunia, atau semenjak ibu Maryam menghembuskan nafas terakhirnya. Namun ternyata, ayah tidak pernah siap untuk itu.
"Ibu mu lebih cantik dari apapun. Hingga ayah sangat kesulitan mendeskripsikan cantiknya." Jawab ayah, yang sebenarnya bukanlah sebuah jawaban.
"Maryam ingin sekali bertemu ibu." Celetuk Maryam hampir tak terdengar.
"Ayah juga. Ayah sangat merindukan ibu. Ayah selalu merindukan ibu. Tapi, satu hal yang harus adik tahu, ibu pergi lebih dulu karena Allah sangat menyayangi ibu. Ibu pasti sudah bahagia di sana, melihat adik tumbuh menjadi anak yang baik, sholeha, periang, penurut sama ayah. Esok lusa kita akan menyusul ibu, tapi untuk bisa berkumpul dengan ibu kita harus menabung kebaikan, kita harus menjadi orang baik, orang yang pandai bersyukur, orang yang taat pada Allah." Jelas ayah yang dibalas dengan anggukan cepat dari Maryam.

"Adik mau berjanji satu hal dengan ayah?" Tanya ayah sembari menyisir pelan rambut putrinya. Maryam kemudian mengangguk mantap. "Adik harus tumbuh seperti ibu. Menjadi perempuan yang periang, sholeha, adik harus menggantungkan hidup hanya pada Allah. Yang terpenting, adik harus bahagia, adik harus lebih baik dari ayah. Janji?" Kata ayah sambil mengangkat jari kelingkingnya.
Tanpa berpikir panjang Maryam langsung menautkan kelingkingnya pada kelingking ayah "Maryam janji yah." Katanya dengan senyum mengembang.

Maryam, kebahagiaan ayah. Satu-satunya yang ayah miliki. Maryam putri ayah. Ayah akan tetap sehat untuk Maryam.

Komentar

Postingan Populer